Archive for April 2017
OLEH ; MAHYUDI
Berikut ini kami bagikan RPP TEMATIK UNTUK SD kelas lengkap supaya mempermudah para guru untuk mengedit dan menyesuaikan dengan kebutuhan tempat mengajar. semoga bisa bermanfaat untuk semuaNYA....
KELAS 1 semester 1
jaringan tema
KKM
Program Tahunan
program semester
RPP
SILABUS
KELAS 1 semester 2
Jaringan Tema
KKM
prota
promes
RPP
SILABUS
Berikut ini kami bagikan RPP TEMATIK UNTUK SD kelas lengkap supaya mempermudah para guru untuk mengedit dan menyesuaikan dengan kebutuhan tempat mengajar. semoga bisa bermanfaat untuk semuaNYA....
jaringan tema
KKM
Program Tahunan
program semester
RPP
SILABUS
KELAS 1 semester 2
Jaringan Tema
KKM
prota
promes
RPP
SILABUS
DOWNLOAD RPP TEMATIK KELAS 1 SD LENGKAP
oleh mahyudi
Seorang
mukmin dalam melaksanakan sholat hendaknya dia membersihkan dirinya baik lahir
maupun batin. Karena allah hanya menerima sholat dan ibadah orang-orang yang
suci hati dan badannya. Suci lahir yaitu dengan berwudu’ dan mandi. Berwuduk
merupakan cara untuk menghilangkan hadas kecil dan mandi wajib untuk
menghilangkan hadas besar.
Nabi
bersabada:
Dari abu khurairah,
sesungguhnya nabi salallahu ‘alaihi wasaalam bersabda “ apabila kamu hendak
melaksanakan sholat, maka sempurnakanlah wudu’, kemudian menghadap kiblat lalu
bertakbir, bacalah apa yang mudah bagimu dari al-qur’an, kemudian ruku’ secara
tuma’ninah, lalu bangkit sampau lurus berdiri,kemudian sujud sampai
tuma’ninah,kemudian bangkit hingga duduk dengan tuma’ninah, kemudian sujud
kembali dengan tum’ninah, kemudian lakukanlah yang demikian itu pada seluruh
sholatmu”. Dikeluarkan oleh imam yang tujuh dan ini lafaz iman al-bukhori. Dan
riwayat ibnu mahah dengan sanad muslim “hingga berdiri dengan tuma’ninah”.[1]
Nabi
telah memberikan contoh dan perintah kepada kita dalam ibadah sholat. Kita disuruh
untuk mengikuti nabi dan tidak boleh mengikuti hawa nafsu dan orang banyak.
Bagi
para pembaca yang insya allah dirahmati allah mudah-mudahan kita diberi hidayah
dan petunjuk oleh allah kepada shirotol mustaqim “jalan yang lurus” yaitu jalan
orang-orang yang telah diberi nikmat oleh allah seperti para nabi, sahabat
nabi, tabi’in (orang yang mengikuti nabi muhamad dengan baik) dan orang yang
sholeh.
Dewasa
ini banyak orang yang tidak mau lagi mendirikan sholat, padahal mereka mengaku
beriman dan percaya bahwa sholat itu wajib. Tetapi mengapa mereka tidak mau
atau malas mengerjakannya? Karena mereka tidak paham manfaat dan kedudukan
sholat dalam ajaran islam dan tidak mengerti dalil-dalil yang menjelaskan tata
cara sholat.
Dalam
ibadah sholat terjadi perbedaan pendapat diantara ahli fiqih, tetapi kita tidak
boleh taqlik (mengikut buta) tanpa memperhatikan dalil-dalilnya. Imam
as-syafi’i berkata kepada muridnya “apabila ada pendapat ku yang bertentangan
dengan hadits nabi Muhammad saw maka kalian ruju’ kedapa hadits tersebut dan
tinggalkan pendapat ku. Seandainnya aku masih hidup aku akan mengikuti hadits
yang shohih dan meninggalkan pendapatku yang keliru”.
Jadi,
ilmu sebelum beramal itu sangan penting. Kita di wajibkan untuk menuntut ilmu
agama. Supaya kita bisa mengamalkan dan mengajarkan kepada keluarga, karib
kerabat dan kaum muslimin.
Marilah
kita sama-sama memelihara diri kita dan keluarga kita dari siksa api neraka
karena allah telah berfirman:
”hai
orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api
neraka” (al-qur’an)
Anak,
istri, suami dan orang-orang disekitar anda merupakan keluarga yang menjadi
tanggungjawab anda dalam mendidik dan mengajarkan ilmu agama.
Bersuci
dari hadas kecil dan besar yang lebih utama dengan air yang suci lagi
mensucikan. Dalam al-qur’an allah berfirman:
Artinya
Artinya:
“Dan allah
menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikanmu dari air hujan itu” (QS.
Al-Anfal:11)
Bersuci
hati yaitu bersihkan hati dari sifat yang tercela. Sifat yang membuat hati kita
menjadi tidak nyaman sewaktu kita beribadah kepada allah. Penyakit hati yang
sering melanda umat manusia diantaranya iri, dengki, riya’, hasad dan masih
banyak lagi. Kita disuruh membersihkan hati ketika kita mau sholat agar ibadah
kita murni karena allah ta’ala.
B.
Niat
Sholat
Dalam
laksanakan ibadah sholat yang utama sekali adalah niatnya. Seseorang yang
beribadah dengan niat bukan karena allah maka allah tidak akan menerima ibadah
tersebut. Allah berfirman dalam surat
al-Maa’uun ayat 4-7
“Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat,
(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya,
dan enggan (menolong dengan) barang berguna”.
Al Qurthubi
mengatakan makna dari “orang-orang yang berbuat riya,” adalah orang yang (dengan
sholatnya) memperlihatkan kepada manusia bahwa dia melakukan sholat dengan
penuh ketaatan, dia sholat dengan penuh ketakwaan seperti seorang yang fasiq
melihat bahwa sholatnya sebagai suatu ibadah atau dia sholat agar dikatakan
bahwa ia seorang yang (melakukan) sholat. Hakikat
riya’ adalah menginginkan apa yang ada di dunia dengan (memperlihatkan)
ibadahnya. Pada asalnya riya’ adalah menginginkan kedudukan di hati manusia.
Ini termasuk syirik yang tersembunyi.
Nabi SAW bersabda:
“Wahai
sekalian manusia, jauhilah kesyirikan yang tersembunyi ! ” Para sahabat
bertanya, “Ya Rasulullah, apa itu syirik yang tersembunyi ? ” Beliau menjawab,
“Seseorang bangkit melakukan sholat kemudian dia bersungguh-sungguh memperindah
sholatnya karena di lihat manusia. Itulah yang disebut dengan syirik yang
tersembunyi.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Baihaqi).
Ada dua pendapat yang sudah masyur di
tengah masyarakat tentang niat, yaitu “niat dengan tidak melafalkannya” (cukup
dalam hati) dan “niat dengan melafalkannya”, yaitu dengan menyebutkan nama
shalat, jumlah raka’at, menentukan arah kiblat dan kedudukan shalat (membaca
ushalli… atau nawaitu an ushallia…)
Pendapat Pertama:
Tidak Melafalkan Niat Sebelum Takbiratul Ihram
Niat tidak perlu dilafalkan, yang
terpenting sudah tergetar di dalam hati, sehingga orang yang akan melaksanakan
shalat tidak perlu melafalkan niat sebelum takbiratul ihram, seperti lafal “Ushalli
fardhal maghribi tsalasa raka’atin mustaqbilal Qiblati adaan makmuman lillahi
ta’ala” dan niat shalat lainnya yang sudah masyur di masyarakat.
Dari
Aisyah radhiyallahu anha:
“Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memulai shalatnya dengan takbir.” (HR. Muslim).
Abu
Dawud bertanya kepada Imam Ahmad. Dia berkata,
“Apakah orang shalat mengatakan sesuatu sebelum
dia takbir?” Imam Ahmad menjawab, “Tidak.” (Masaail al-Imam
Ahmad dan Majmuu’ al Fataawaa).
As-Suyuthi
berkata,
“Yang termasuk perbuatan bid’ah adalah was-was
(selalu ragu) sewaktu berniat shalat. Hal itu tidak pernah diperbuat oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabat beliau. Mereka dulu tidak
pernah melafalkan niat shalat sedikitpun selain hanya lafal takbir.”
Asy-Syafi’i
berkata,
“Was-was dalam niat shalat dan dalam thaharah
termasuk kebodohan terhadap syariat atau membingungkan akal.”[2]
Menurut
Syaikh Ali Mahfudzh,
“Diantara bid’ah-bid’ah dalam shalat adalah,
melafalkan niat dengan keras.”
Ibnu
Al-Haj dalam kitab Al-Madkal mengatakan,
“Baik imam atau makmum, tidak boleh mengeraskan bacaan
niat. Mengingat tidak ada satu pun riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah,
khulafaur rasyidin atau para sahabat radhiyallahu anhum melafalkannya dengan
keras. Jadi mengucapkan niat termasuk bid’ah.” (Al-Ibda’ fi
Madharri Al-Ibtida’)
Syaikh
bin Baz dalam fatwanya mengatakan,
“Melafalkan niat afalah bid’ah dan mengeraskan
dalam melafalkannya lebih besar dosanya.” Yang disunnahkan adalah, membaca niat
dalam hati, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui apapun yang tersembunyi.
Dialah Allah, yang berfirman, “Katakanlah, apakah kalian memberitahukan Allah
tentang perkara agamamu, sedangkan Allah mengetahui apa yang ada di langit dan
di bumi? ”Tidak ditemukan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau
salah seorang sahabat, dan seorang tabi’in pun yang melafalkan niat shalat.
Dengan demikian, dapat kita simpulkan berdasarkan fakta ini, bahwa melafalkan
niat tidak dianjurkan. Bahwa ini tergolong perbuatan bid’ah yang diada-adakan.
Wallahu waliyyut taufiq.”[3]
Menurut
Ibnu Qudamah,
“Niat artinya maksud atau keinginan untuk
melakukan sesuatu. Letaknya di dalam hati, tidak ada sangkut pautnya dengan
lisan sama sekali. Karena itu tidak pernah didapati dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam atau sahabat-sahabat beliau, satu pun lafal niat. Demikian
pula, kami tidak pernah mendengar para sahabat menyebutkannya.
Ungkapan-ungkapan yang dibaca saat bersuci atau ketika hendak memulai shalat,
dijadikan momentum bagi setan untuk memunculkan was-was bagi yang melakukannya.
Dalam kondisi yang demikian, setan mengungkungi, menyiksa dan membuat mereka
tenggelam dalam keraguan, benar tidaknya lafal niat yang dibaca. Maka dari itu,
kita sering melihat orang susah payah mengulang-ulang lafal niat berkali-kali.
Padahal pengucapan niat tidak termasuk dalam bagian shalat, baik rukun maupun
syaratnya.
Menurut
Ibnu Qayyim,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika
hendak menunaikan shalat, beliau membaca takbir (Allahu Akbar), dengan tidak
mengucapkan sepatah kata pun sebelum takbir dan tidak pula melafalkan
niat…Tidak ada satu pun riwayat hadits, baik yang shahih maupun yang dhaif,
yang musnad maupun yang mursal bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melafalkan niat dalam shalatnya. Begitu pula tidak ada seorang sahabat dan
tabi’in pun yang melafalkan niat shalat dalam shalat mereka. Begitu pula imam
yang empat. Hanya saja, ada beberapa pengikut madzhab Syafi’i yang tergolong
kelompok yang kesekian / muta’akhirin, terkecoh oleh ucapan Imam Asy-Syafi’i
yang mengatakan, “Shalat tidak sama dengan puasa. Tidak seorangpun melakukannya
kecuali dengan dzikir.” Mereka mengira, bahwa dzikir yang dikatakan Asy-Syafi’i
adalah ucapan niat ketika hendak shalat. Padahal, dzikir yang dimaksudkan Imam
Asy-Syafi’i adalah ucapan takbiratul ihram bukan lainnya. Bagaimana mungkin
Asy-Syafi’i menganjurkan suatu perkara yang tidak pernah dilakukan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak juga dilakukan oleh khulafaur rasyidin
atau para sahabat dalam shalat mereka…”
Pendapat Kedua:
Melafalkan Niat Sebelum Takbiratul Ihram
Niat dilafalkan dengan kalimat
tertentu sebelum mengucapkan takbir, yaitu dengan menyebutkan nama shalat,
jumlah raka’at, menentukan arah kiblat dan kedudukan shalat (membaca
ushalli… atau nawaitu an ushallia…)
Cara
ini berkembang luas di kalangan pengikut madzhab Syafi’i, terutama di
Indonesia, walaupun Iman Syafi’i sendiri tidak berpendapat demikian.
“Esssensi niat bukanlah terletak pada
pelafalannya sebelum takbir itu sendiri, namun dimaksudkan untuk mengantar hati
supaya ketika melakukan takbir, niat yang ada dalam hati sudah benar
(memantapkan niat yang sudah ada dalam hati-pen.). Seringkali kita melakukan
kesalahan ingatan, misalnya kita ingin melakukan shalat Dzuhur, tetapi getar
hati mengatakan shalat Ashar. Jelas niat demikian menyebabkan shalat tidah sah.
Lain persoalannya, kalau seseorang salah melafalkan niat, tetapi dalam hatinya
yang dimaksudkan adalah shalat tertentu; misalnya seseorang melafalkan niat
shalat Ashar padahal yang dimaksud hatinya adalah shalat Dzuhur, maka shalatnya
tetap sah.”[4]
Jadi, luruskan niat karena allah
ta’ala. Lalu kita bertanya, Bagaimana niat sholat nabi saw?
Nabi muhamad saw berniat tidak dengan
mengucapkan lafaz usholli… (sampai akhir), tetapi cukup di dalam hati
saja, karena niat itu adalah tujuan dari amal perbuatan kita.
Adapun niat sebagai rukun sholat niat
harus dilakukan bersamaan dengan mengerjakannya sholat.
Dalam Hadits Riwayat Jama’ah “sesungguhnya
setiap amal itu tergantung niatnya, dan balasan bagi setiap orang tergantung
pada niatnya”.
Berdasarkan hadits-hadits dan pendapat
para ulama bahwa nabi muhamad tidak pernah melafalkan niat ketika melaksanakan
sholat, begitu juga para sahabat, tidak pula para tabi’in dan imam yang empat.
Hanya ada beberapa orang yang salah dalam memahami perkataan imam as-syafi’I.
Tidak ada satupun hadits yang shohih
ataupun yang do’if yang mengatakan bahwa niat sholat itu dilafalkan seperti
kata usalli atau nawaitu, akan tetapi hanya cukup di dalam hati
saja. Sebab allah itu tidak tuli dan pekak. Allah mengetahui apa-apa yang
tersebunyi di hati para hambanya.
[1] Shohih diriwayatkan oleh
al-bukhori (6251) dalam al-istidzaan, muslim (379) dalam ash-sholaah, abu daud
(856) dalam ash- sholaah, at-turmidzi (303) dalam abwab ash- sholaah, an-nasa’I
(884) , ibnu majah (1060) dalam iqommatush ash sholaah wa sunnah fiha, ahmad
(9352) , at- turmidzi berkata ‘ hadits hasan shohih”
[4] (Lihat
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Kifayat al-ahyar fi hilli
ghayat al-ikhtisar [Daru ahyai ak-kutub al-Arabiyah: Indonesia, tth.] Juz 1,
hlm. 102)