Tuesday, 4 April 2017


oleh mahyudi
Seorang mukmin dalam melaksanakan sholat hendaknya dia membersihkan dirinya baik lahir maupun batin. Karena allah hanya menerima sholat dan ibadah orang-orang yang suci hati dan badannya. Suci lahir yaitu dengan berwudu’ dan mandi. Berwuduk merupakan cara untuk menghilangkan hadas kecil dan mandi wajib untuk menghilangkan hadas besar.
Nabi bersabada:
Dari abu khurairah, sesungguhnya nabi salallahu ‘alaihi wasaalam bersabda “ apabila kamu hendak melaksanakan sholat, maka sempurnakanlah wudu’, kemudian menghadap kiblat lalu bertakbir, bacalah apa yang mudah bagimu dari al-qur’an, kemudian ruku’ secara tuma’ninah, lalu bangkit sampau lurus berdiri,kemudian sujud sampai tuma’ninah,kemudian bangkit hingga duduk dengan tuma’ninah, kemudian sujud kembali dengan tum’ninah, kemudian lakukanlah yang demikian itu pada seluruh sholatmu”. Dikeluarkan oleh imam yang tujuh dan ini lafaz iman al-bukhori. Dan riwayat ibnu mahah dengan sanad muslim “hingga berdiri dengan tuma’ninah”.[1]
Nabi telah memberikan contoh dan perintah kepada kita dalam ibadah sholat. Kita disuruh untuk mengikuti nabi dan tidak boleh mengikuti hawa nafsu dan orang banyak.
Bagi para pembaca yang insya allah dirahmati allah mudah-mudahan kita diberi hidayah dan petunjuk oleh allah kepada shirotol mustaqim “jalan yang lurus” yaitu jalan orang-orang yang telah diberi nikmat oleh allah seperti para nabi, sahabat nabi, tabi’in (orang yang mengikuti nabi muhamad dengan baik) dan orang yang sholeh.
Dewasa ini banyak orang yang tidak mau lagi mendirikan sholat, padahal mereka mengaku beriman dan percaya bahwa sholat itu wajib. Tetapi mengapa mereka tidak mau atau malas mengerjakannya? Karena mereka tidak paham manfaat dan kedudukan sholat dalam ajaran islam dan tidak mengerti dalil-dalil yang menjelaskan tata cara sholat.
Dalam ibadah sholat terjadi perbedaan pendapat diantara ahli fiqih, tetapi kita tidak boleh taqlik (mengikut buta) tanpa memperhatikan dalil-dalilnya. Imam as-syafi’i berkata kepada muridnya “apabila ada pendapat ku yang bertentangan dengan hadits nabi Muhammad saw maka kalian ruju’ kedapa hadits tersebut dan tinggalkan pendapat ku. Seandainnya aku masih hidup aku akan mengikuti hadits yang shohih dan meninggalkan pendapatku yang keliru”.
Jadi, ilmu sebelum beramal itu sangan penting. Kita di wajibkan untuk menuntut ilmu agama. Supaya kita bisa mengamalkan dan mengajarkan kepada keluarga, karib kerabat dan kaum muslimin.
Marilah kita sama-sama memelihara diri kita dan keluarga kita dari siksa api neraka karena allah telah berfirman:
”hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka” (al-qur’an)
Anak, istri, suami dan orang-orang disekitar anda merupakan keluarga yang menjadi tanggungjawab anda dalam mendidik dan mengajarkan ilmu agama.
Bersuci dari hadas kecil dan besar yang lebih utama dengan air yang suci lagi mensucikan. Dalam al-qur’an allah berfirman:
 
Artinya
 
Artinya:
“Dan allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikanmu dari air hujan itu” (QS. Al-Anfal:11)
Bersuci hati yaitu bersihkan hati dari sifat yang tercela. Sifat yang membuat hati kita menjadi tidak nyaman sewaktu kita beribadah kepada allah. Penyakit hati yang sering melanda umat manusia diantaranya iri, dengki, riya’, hasad dan masih banyak lagi. Kita disuruh membersihkan hati ketika kita mau sholat agar ibadah kita murni karena allah ta’ala.
B.   Niat Sholat
Dalam laksanakan ibadah sholat yang utama sekali adalah niatnya. Seseorang yang beribadah dengan niat bukan karena allah maka allah tidak akan menerima ibadah tersebut.   Allah berfirman dalam surat al-Maa’uun ayat 4-7

 “Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna”.
Al Qurthubi mengatakan makna dari “orang-orang yang berbuat riya,” adalah orang yang (dengan sholatnya) memperlihatkan kepada manusia bahwa dia melakukan sholat dengan penuh ketaatan, dia sholat dengan penuh ketakwaan seperti seorang yang fasiq melihat bahwa sholatnya sebagai suatu ibadah atau dia sholat agar dikatakan bahwa ia seorang yang (melakukan) sholat. Hakikat riya’ adalah menginginkan apa yang ada di dunia dengan (memperlihatkan) ibadahnya. Pada asalnya riya’ adalah menginginkan kedudukan di hati manusia.
Ini termasuk syirik yang tersembunyi. Nabi SAW bersabda:
“Wahai sekalian manusia, jauhilah kesyirikan yang tersembunyi ! ” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apa itu syirik yang tersembunyi ? ” Beliau menjawab, “Seseorang bangkit melakukan sholat kemudian dia bersungguh-sungguh memperindah sholatnya karena di lihat manusia. Itulah yang disebut dengan syirik yang tersembunyi.” (HR. Ibnu Khuzaimah dan Baihaqi).
Ada dua pendapat yang sudah masyur di tengah masyarakat tentang niat, yaitu “niat dengan tidak melafalkannya” (cukup dalam hati) dan “niat dengan melafalkannya”, yaitu dengan menyebutkan nama shalat, jumlah raka’at, menentukan arah kiblat dan kedudukan shalat (membaca ushalli… atau nawaitu an ushallia…)
Pendapat Pertama: Tidak Melafalkan Niat Sebelum Takbiratul Ihram
Niat tidak perlu dilafalkan, yang terpenting sudah tergetar di dalam hati, sehingga orang yang akan melaksanakan shalat tidak perlu melafalkan niat sebelum takbiratul ihram, seperti lafal “Ushalli fardhal maghribi tsalasa raka’atin mustaqbilal Qiblati adaan makmuman lillahi ta’ala” dan niat shalat lainnya yang sudah masyur di masyarakat.

Dari Aisyah radhiyallahu anha:
Dulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai shalatnya dengan takbir.(HR. Muslim).
Abu Dawud bertanya kepada Imam Ahmad. Dia berkata,
Apakah orang shalat mengatakan sesuatu sebelum dia takbir?” Imam Ahmad menjawab, “Tidak.(Masaail al-Imam Ahmad dan Majmuu’ al Fataawaa).
As-Suyuthi berkata,
Yang termasuk perbuatan bid’ah adalah was-was (selalu ragu) sewaktu berniat shalat. Hal itu tidak pernah diperbuat oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun para sahabat beliau. Mereka dulu tidak pernah melafalkan niat shalat sedikitpun selain hanya lafal takbir.”
Asy-Syafi’i berkata,
Was-was dalam niat shalat dan dalam thaharah termasuk kebodohan terhadap syariat atau membingungkan akal.[2]
Menurut Syaikh Ali Mahfudzh,
Diantara bid’ah-bid’ah dalam shalat adalah, melafalkan niat dengan keras.
Ibnu Al-Haj dalam kitab Al-Madkal mengatakan,
Baik imam atau makmum, tidak boleh mengeraskan bacaan niat. Mengingat tidak ada satu pun riwayat yang mengatakan bahwa Rasulullah, khulafaur rasyidin atau para sahabat radhiyallahu anhum melafalkannya dengan keras. Jadi mengucapkan niat termasuk bid’ah.” (Al-Ibda’ fi Madharri Al-Ibtida’)
Syaikh bin Baz dalam fatwanya mengatakan,
Melafalkan niat afalah bid’ah dan mengeraskan dalam melafalkannya lebih besar dosanya.” Yang disunnahkan adalah, membaca niat dalam hati, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui apapun yang tersembunyi. Dialah Allah, yang berfirman, “Katakanlah, apakah kalian memberitahukan Allah tentang perkara agamamu, sedangkan Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? ”Tidak ditemukan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau salah seorang sahabat, dan seorang tabi’in pun yang melafalkan niat shalat. Dengan demikian, dapat kita simpulkan berdasarkan fakta ini, bahwa melafalkan niat tidak dianjurkan. Bahwa ini tergolong perbuatan bid’ah yang diada-adakan. Wallahu waliyyut taufiq.[3]


Menurut Ibnu Qudamah,
Niat artinya maksud atau keinginan untuk melakukan sesuatu. Letaknya di dalam hati, tidak ada sangkut pautnya dengan lisan sama sekali. Karena itu tidak pernah didapati dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau sahabat-sahabat beliau, satu pun lafal niat. Demikian pula, kami tidak pernah mendengar para sahabat menyebutkannya. Ungkapan-ungkapan yang dibaca saat bersuci atau ketika hendak memulai shalat, dijadikan momentum bagi setan untuk memunculkan was-was bagi yang melakukannya. Dalam kondisi yang demikian, setan mengungkungi, menyiksa dan membuat mereka tenggelam dalam keraguan, benar tidaknya lafal niat yang dibaca. Maka dari itu, kita sering melihat orang susah payah mengulang-ulang lafal niat berkali-kali. Padahal pengucapan niat tidak termasuk dalam bagian shalat, baik rukun maupun syaratnya.
Menurut Ibnu Qayyim,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hendak menunaikan shalat, beliau membaca takbir (Allahu Akbar), dengan tidak mengucapkan sepatah kata pun sebelum takbir dan tidak pula melafalkan niat…Tidak ada satu pun riwayat hadits, baik yang shahih maupun yang dhaif, yang musnad maupun yang mursal bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melafalkan niat dalam shalatnya. Begitu pula tidak ada seorang sahabat dan tabi’in pun yang melafalkan niat shalat dalam shalat mereka. Begitu pula imam yang empat. Hanya saja, ada beberapa pengikut madzhab Syafi’i yang tergolong kelompok yang kesekian / muta’akhirin, terkecoh oleh ucapan Imam Asy-Syafi’i yang mengatakan, “Shalat tidak sama dengan puasa. Tidak seorangpun melakukannya kecuali dengan dzikir.” Mereka mengira, bahwa dzikir yang dikatakan Asy-Syafi’i adalah ucapan niat ketika hendak shalat. Padahal, dzikir yang dimaksudkan Imam Asy-Syafi’i adalah ucapan takbiratul ihram bukan lainnya. Bagaimana mungkin Asy-Syafi’i menganjurkan suatu perkara yang tidak pernah dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak juga dilakukan oleh khulafaur rasyidin atau para sahabat dalam shalat mereka…
Pendapat Kedua: Melafalkan Niat Sebelum Takbiratul Ihram
Niat dilafalkan dengan kalimat tertentu sebelum mengucapkan takbir, yaitu dengan menyebutkan nama shalat, jumlah raka’at, menentukan arah kiblat dan kedudukan shalat (membaca ushalli… atau nawaitu an ushallia…)
Cara ini berkembang luas di kalangan pengikut madzhab Syafi’i, terutama di Indonesia, walaupun Iman Syafi’i sendiri tidak berpendapat demikian.
Esssensi niat bukanlah terletak pada pelafalannya sebelum takbir itu sendiri, namun dimaksudkan untuk mengantar hati supaya ketika melakukan takbir, niat yang ada dalam hati sudah benar (memantapkan niat yang sudah ada dalam hati-pen.). Seringkali kita melakukan kesalahan ingatan, misalnya kita ingin melakukan shalat Dzuhur, tetapi getar hati mengatakan shalat Ashar. Jelas niat demikian menyebabkan shalat tidah sah. Lain persoalannya, kalau seseorang salah melafalkan niat, tetapi dalam hatinya yang dimaksudkan adalah shalat tertentu; misalnya seseorang melafalkan niat shalat Ashar padahal yang dimaksud hatinya adalah shalat Dzuhur, maka shalatnya tetap sah.[4]
Jadi, luruskan niat karena allah ta’ala. Lalu kita bertanya, Bagaimana niat sholat nabi saw?
Nabi muhamad saw berniat tidak dengan mengucapkan lafaz usholli… (sampai akhir), tetapi cukup di dalam hati saja, karena niat itu adalah tujuan dari amal perbuatan kita.
Adapun niat sebagai rukun sholat niat harus dilakukan bersamaan dengan mengerjakannya sholat.
Dalam Hadits Riwayat Jama’ah “sesungguhnya setiap amal itu tergantung niatnya, dan balasan bagi setiap orang tergantung pada niatnya”.
Berdasarkan hadits-hadits dan pendapat para ulama bahwa nabi muhamad tidak pernah melafalkan niat ketika melaksanakan sholat, begitu juga para sahabat, tidak pula para tabi’in dan imam yang empat. Hanya ada beberapa orang yang salah dalam memahami perkataan imam as-syafi’I.
Tidak ada satupun hadits yang shohih ataupun yang do’if yang mengatakan bahwa niat sholat itu dilafalkan seperti kata usalli atau nawaitu, akan tetapi hanya cukup di dalam hati saja. Sebab allah itu tidak tuli dan pekak. Allah mengetahui apa-apa yang tersebunyi di hati para hambanya.



[1]  Shohih diriwayatkan oleh al-bukhori (6251) dalam al-istidzaan, muslim (379) dalam ash-sholaah, abu daud (856) dalam ash- sholaah, at-turmidzi (303) dalam abwab ash- sholaah, an-nasa’I (884) , ibnu majah (1060) dalam iqommatush ash sholaah wa sunnah fiha, ahmad (9352) , at- turmidzi berkata ‘ hadits hasan shohih”

[2] (Lihat al-Amr bi al-Itbaa’ wa al-Nahy ‘an al-Ibtidaa’).
[3] (Fatawa Islamiyah li Majmu’ah min Al-‘Ulama, I/383)
[4] (Lihat Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, Kifayat al-ahyar fi hilli ghayat al-ikhtisar [Daru ahyai ak-kutub al-Arabiyah: Indonesia, tth.] Juz 1, hlm. 102)

- Copyright © channel ulama - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -