Friday, 1 January 2016
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 1999
TENTANG
HAK ASASI MANUSIA
NOMOR 39 TAHUN 1999
TENTANG
HAK ASASI MANUSIA
BAB
III
HAK ASASI MANUSIA DAN KEBEBASAN DASAR MANUSIA
HAK ASASI MANUSIA DAN KEBEBASAN DASAR MANUSIA
Bagian
Keempat
Hak Memperoleh Keadilan
Hak Memperoleh Keadilan
Pasal 18
1. Setiap orang yang ditangkap,
ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak
dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu
sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk
pembelaannya, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Setiap orang tidak boleh dituntut
untuk dihukum atau dijatuhi pidana, kecuali berdasarkan suatu peraturan
perundang-undangan yang sudah ada sebelum tindak pidana itu dilakukannya.
3. Setiap ada perubahan dalam peraturan
perundang-undangan, maka berlaku ketentuan yang paling menguntungkan bagi
tersangka.
4. Setiap orang yang diperiksa berhak
mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
5. Setiap orang tidak dapat dituntut
untuk kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang telah
memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
HAK MEMPEROLEH KEADILAN DALAM PERSPEKTIF PENERAPAN ASAS
PRADUGA TIDAK BERSALAH
Negara
Indonesia adalah Negara hukum[1][1]. Menurut Stahl,
konsep Negara hukum yang disebut dengan istilah “rechtsstaat” mencakup empat elemen penting, yaitu:[2][2] perlindungan hak asasi manusia, pembagian
kekuasaan, pemerintahan berdasarkan undang-undang dan peradilan tata usaha negara. Atas dasar
ciri-ciri negera hukum ini menunjukkan bahwa ide sentral negara hukum adalah
pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia yang bertumpu kepada
prinsip kebebasan dan persamaan.
Sehubungan
dengan pernyataan tersebut, khususnya elemen perlindungan hak asasi manusia,
secara konstitusional negara Indonesia telah menjamin, menghormati, menjunjung
tinggi dan melindungi Hak Asasi Manusia. Sebelum dilakukan perubahan, UUD
1945 dapat dikatakan tidak mencatumkan secara tegas mengenai jaminan Hak Asasi
Manusia. Tetapi setelah UUD 1945
diamandemen, terutama amandemen kedua tahun 2000, ketentuan mengenai HAM dalam
UUD 1945 telah mengalami perubahan yang mendasar. UUD 1945 perubahan ini telah
memuat materi HAM yang diatur dalam pasal 28A ayat (1) sampai dengan pasal 28j
ayat (2). Materi yang berkaitan dengan hak memperoleh keadilan terdapat dalam
pasal 28D yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum. Selain itu, pasal 28I ayat (1)
juga menyebutkan hak atas pengakuan sebagai pribadi di hadapan hukum dan
hak ini merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikuragi dalam keadaan
apapun.
Dalam rangka menegakkan butir-butir hak
asasi manusia tersebut, telah diatur pula kewajiban orang lain untuk
menghormati hak asasi orang lain serta tanggung jawab Negara atas tegaknya hak
asasi manusia, khususnya hak memperoleh keadilan. Pasal 28I ayat (4) UUD 1945
yang menyebutkan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Demikian juga pasal
28I ayat (5) yang menyatakan bahwa untuk menegakkan dan melindungi hak asasi
manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan
hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan. Kemudian pengaturan kewajiban orang lain untuk menghormati
hak asasi orang lain terdapat dalam Pasal 28J ayat (1) yang menyebutkan bahwa
setiap orang wajib menghormati hak asasi orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Juga dalam Pasal 28J ayat (2)
menyebutkan bahwa dalam menjalankan hak dan kewajibannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain serta untuk memenuhi tuntutan
yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Ketentuan-ketentuan tentang hak asasi
manusia yang terdapat dalam UUD 1945 tersebut, merupakan substansi yang berasal
dari rumusan Tap.MPR No. XVII/MPR/1998, yang selanjutnya menjelma menjadi
materi Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 telah
merumuskan pengertian hak asasi manusia, yaitu seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan
dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia.[3][3] Terdapat
sepuluh elemen hak yang melekat pada hak asasi manusia, yaitu:[4][4] (1) hak untuk
hidup; (2) hak berkeluarga; (3) hak mengembangkan diri; (4) hak memperoleh keadilan; (5) hak atas kebebasan pribadi; (6)
hak atas rasa aman; (7) hak atas kesejahteraan; (8) hak atas turut serta dalam pemerintahan;
(9) hak wanita; dan (10) hak anak.
Dalam rangka pemenuhan hak memperoleh
keadilan, sebagaimana yang disebut angka (4) di atas, dilakukan tanpa
diskriminasi dengan cara mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, baik
dalam perkara perdata, pidana maupun administrasi serta diadili melalui proses
peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin
pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh
putusan yang adil dan benar.[5][5] Dalam proses
pemenuhan hak memperoleh keadilan berlaku asas:[6][6] (1) presumption of innocence (praduga tidak
bersalah); (2) Nullum Delictum Siena
Previa Lege Poenale (tidak ada kesalahan tanpa diatur lebih dahulu dalam
undang-undang sebelum tindak pidana dilakukan); (3) ketentuan yang lebih
menguntungkan (dalam hal terjadi perubahan peraturan perundang-undangan); (4)
mendapat bantuan hukum; (5) Ne Bis In
Idem (tidak dapat dituntut untuk
kedua kalinya dalam perkara yang sama).
Instrumen hukum di Indonesia yang berhubungan dengan hak
asasi manusia, khususnya jaminan hak memperoleh keadilan di bidang hukum pidana
sebenarnya sudah memadai. Jumlah peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan penegakan hak asasi manusia sudah cukup banyak. Sarana fisik lembaga
penegak hukum sudah sampai ke tingkat Kabupaten/Kota, Kecamatan dan Desa sudah tersedia. Rekrutmen aparatur penegak
hukum hampir setiap tahun dilakukan dengan standar pendidikan dan seleksi yang
terus diperketat.
Kalau paranata, sarana dan aparat penegak hukum sudah memadai. Lalu permasalahan yang
dihadapi bukan lagi masalah substansi atau materi hukum, namun masalah lain.
Masalah hukum yang menjadi tuntutan masyarakat sebenarnya adalah masalah
penerapan dan penegakan hukum yang sudah ada.
Hukum tanpa penegakan bukan apa-apa, yang memberi makna pada hukum
adalah aparat hukum dan masyarakat. Tanpa substansi hukum atau hukum yang
kurang jelas pun sebenarnya hukum dapat ditegakkan, karena sudah menjadi tugas
para hakim untuk menciptakan hukum.[7][7] Hal ini
sejalan dengan ungkapan Profesor Taverne, “Berilah aku hakim yang baik, jaksa
yang baik dan polisi yang baik, maka dengan hukum yang buruk sekalipun akan
memperoleh hasil yang lebih baik”.
Salah satu esensi pokok tugas penegakan
hukum adalah tegaknya hukum dan keadilan.
Keadilan adalah sesuatu nilai dan rasa yang bersifat nisbi atau relatif.
Apa yang adil bagi seseorang atau suatu kelompok, belum tentu dirasakan adil
bagi orang lain. Oleh karena itu perlu diketahui hukum dan keadilan yang
bagaimana yang hendak ditegakkan di Negara Hukum Republik Indonesia, sesuai
dengan apa yang menjadi tujuan KUHAP?
Bagaimana proses peradilan pidana yang adil dan mewujudkan kebenaran dan
keadilan yang dikehendaki di negara hukum?Atau kemana kita menguji hukum dan
keadilan yang hendak ditegakkan.
Tujuan KUHAP diundangkan adalah untuk
menegakkan hukum dan keadilan di
tengah-tengah kehidupan masyarakat bangsa. Oleh karena itu, untuk mewujudkan
sistem peradilan pidana yang adil dan benar sesuai dengan tujuan dan harapan
masyarakat, sangat relevan apabila dilakukan kajian mengenai penerapan asas
praduga tidak bersalah dalam proses peradilan pidana sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP).
Tujuan pembahasan mengenai hak
memperoleh keadilan ini adalah untuk menjelaskan asas praduga tidak bersalah
dan asas-asas lain yang berhubungan dengan masalah itu, di mana asas-asas itu
memberikan banyak pelajaran tentang persamaan dan kebebasan manusia di mata
hukum dan perlindungan atau pemeliharaan terhadap hak-hak pencari keadilan.
Dengan cara yang demikian akan dapat
membantu mempertajam sudut pandang pada hal-hal yang relevan dan secara umum
pengetahuan ini akan bermanfaat bagi masyarakat.
KEADILAN DI
NEGARA HUKUM REPUBLIK INDONESIA
Kata adil
berasal dari bahasa Arab “adl”, akar kata dari ‘adala ya’dilu ‘adlan, yang
maknanya kira-kira sama dengan justice
dalam bahasa Inggeris, yaitu keadilan. Dengan demikian kata adil dalam budaya
Indonesia merupakan serapan dari bahasa asing. Dalam kamus bahasa Indonsia kata
adil diartikan dengan tidak berat sebelah/tidak memihak, berpihak kepada kebenaran,
dan sepatutnya/tidak sewenang-wenang. Pengertian semacam ini mengisyaratkan
keadilan sebagai adanya keseimbangan[8][8].
Keadilan adalah salah satu sifat hukum
yang hakiki. Tuntutan keadilan itu mempunyai dua arti. Dalam arti
formal kedilan menuntut bahwa hukum berlaku umum. Dalam arti
materilal, keadilan menuntut agar hukum sesesuai mungkin dengan cita-cita
keadilan dalam masyarakat. Keadilan juga menuntut agar semua orang dalam
situasi sama diperlakukan dengan sama. Jadi di hadapan hukum semua orang sama
derajatnya. Semua orang berhak atas perlindungan hukum dan tidak ada orang yang
kebal terhadap hukum. Ini yang disebut asas kesamaan hukum atau kesamaan
kedudukan di hadapan hukum. Namun biasanya bila berbicara tentang keadilan
hukum, maka maksudnya adalah keadilan
dalam artian material : isi hukum itu harus adil. Isi hukum yang tidak mau
adil, bukan hukum namanya. Yang diperlukan dan diakui masyarakat bukan
sembarang tatanan normatif, melainkan suatu tatanan yang menunjang kehidupan
bersama berdasarkan apa yang dinilai baik dan wajar. Maka arah pelaksanaan
keadilan adalah konstitutif atau merupakan prasyarat hakiki bagi hukum.
Untuk menentukan apa hukum itu adil
atau tidak, perlu diperhatikan kenyataan yang ada di dalam masyarakat. Jadi
yang dipersoalkan bukanlah pertanyaan
etis tentang apa kriteria objektif keadilan, melainkan apa yang dianggap masyarakat
adil. Di sini berbicara tentang legitimasi sosiologi hukum dan bukan tentang
legitimasi etis. Dan oleh karena itu tuntutan keadilan dapat diterjamahkan ke
dalam tuntutan bahwa hukum harus sesesuai mungkin dengan cita-cita keadilan
dalam masyarakat yang bersangkutan[9][9].
Tentang
menegakkan hukum dan keadilan. Yang patut dan wajib diperhatikan bahwa hukum
itu hanya sebagai sarana dan bukan tujuan. Tujuannya adalah menegakkan
keadilan. Dan tentang keadilan itu ada pada hati nurani masing-masing. Jadikan
hati nurani tolok ukur dalam menerapkan hukum dan peraturan undang-undang,
apakah sudah sesuai dengan rasa keadilan. Sebagai sarana diakui ada peraturan
tertulis dan yang tidak tertulis. Perhatikan tentang tanggung jawab hakim :
memutus atas nama Tuhan Yang Maha Esa; memutus sebagai hakim yang bijaksana dan
bertanggung jawab pertama kepada Tuhan Yang Maha Esa; mengadili, menemu dan
merumus hukum yang sesuai dengan rasa keadilan di kalangan rakyat.[10][10]
Negara
Indonesia adalah negara Hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang
menjunjung tinggi hak asasi manusia serta
yang menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum
dan pemerintahan dan wajib menjunjung
tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
ada kecualinya[11][11].
Menyimak pernyataan ini, dapat diketahui
bahwa hukum acara pidana adalah undang-undang yang berdasarkan asas legalitas.
Artinya semua tindakan penegakan hukum harus berdasarkan ketentuan hukum,
menempatkan kepentingan hukum di atas segala-galanya. Sehingga terwujud suatu kehidupan masyarakat
yang selaras dengan ketentuan-ketentuan perundang-undangan dan rasa keadilan
bangsa Indonesia.
Dengan asas
legalitas, para aparat penegak hukum tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang. Setiap orang, tersangka
ataupun terdakwa, mempunyai kedudukan yang sama dan sederajat di hadapan hukum
(equal before teh law), mempunyai
kedudukan perlindungan yang sama oleh hukum (equal protection of law) serta mendapat perlakuan keadilan yang sama di bawah hukum (equal justice of law).
Pembangunan hukum nasional
dibidang acara pidana adalah agar masyarakat menghayati hak dan kewajibannya
serta untuk meningkatkan pembinaan sikap para pelaksana penegak hukum sesuai
dengan fungsi dan wewenang masing-masing ke arah tegaknya hukum, keadilan dan
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, ketertiban serta kepastian
hukum demi terselenggaranya negara hukum sesuai dengan UUD 1945.[12][12] Dari
pernyataan ini, dapat disimpulkan bahwa dalam setiap penegakan hukum harus
berlandaskan asas keseimbangan yang serasi antara perlindungan terhadap harkat
dan martabat manusia dengan kepentingan dan ketertiban masyarakat. Oleh karena
itu setiap aparat penegak hukum harus mampu
mempertahakan kepentingan masyarakat, sekaligus harus menjunjung tinggi
kemanusiaan dan perlindungan kepentingan anggota masyarakat. Dengan demikian
dalam setiap penegakan hukum, aparat penegak hukum sudah semestinya menggunakan
cara-cara pendekatan yang manusiawi yang berlandaskan pada sila Ketuhanan YME
dan sila Kemanusiaan yang adil dan
beradab.
Dari uraian di atas, jelas bahwa
titik senteral penegakan hukum di Indonesia menurut KUHAP harus berorientasi
pada asas keseimbangan. Pada satu sisi
aparat penegak hukum wajib melindungi harkat dan martabat hak asasi manusia
seorang tersangka/terdakwa, sedangkan
pada sisi lain mereka berkewajiban melindungi dan mempertahankan kepentingan
ketertiban umum. Bergeser dari landasan keseimbangan ini pasti akan menjurus ke
arah orientasi kekuasaan dan bersifat sewenang-wenang. Akibatnya akan
menghasilkan keadilan yang diperoleh melalui pemerasan dan penyiksaan.
Dengan demikian keadilan yang hendak
ditegakkan di negara hukum Republik Indonesia itu tiada lain dari pada
nilai-nilai yang terkandung dalam falsafah Pancasila, UUD 1945 serta
nilai-nilai yang terdapat dalam perundang-undangan yang lain, yang nilai-nilainya
aspiratif dengan nilai dan rasa keadilan masyarakat. Sedangkan cara menegakkan
hukum dan keadilan dilakukan sesuai dengan tata pelaksanaan yang berpedoman
kepada asas praduga tidak bersalah dan asas-asas lain yang ditentukan KUHAP[13][13].
PENERAPAN ASAS PRADUGA
TIDAK BERSALAH
Dalam hukum
acara pidana dikenal beberapa asas yang menjadi pedoman dalam penyelesaian
perkara pidana. Kebanyakan asas ini
berada di luar rumusan peraturan perundang-undangan, namun terkadang
asas ini secara tegas dirumuskan dalam pasal-pasal tertentu dalam suatu
undang-undang. Asas-asas hukum ini ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat
khusus. Asas yang bersifat umum artinya asas yang dapat berlaku pada setiap
tingkat pemeriksaan, mulai dari tingkat penyelidikan sampai dengan peneriksaan
di sidang pengadilan. Sedangkan asas yang bersifat khusus adalah asas yang
hanya berlaku pada tingkatan pemeriksaan tertentu[14][14].
Salah satu
asas pokok dalam proses peradilan pidana adalah asas praduga tidak bersalah
atau presumtion of innocence. Asas
ini bersifat umum, artinya dapat diterapkan di setiap tingkat pemeriksaan,
mulai dari tingkat penyelidikan/penyidikan sampai dengan pemeriksaan di sidang
pengadilan. Penjelasan KUHAP merumuskan pengertian asas praduga tidak bersalah,
yaitu setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau
dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai
adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan
hukum yang tetap.[15][15]
Asas praduga
tidak bersalah merupakan pedoman kepada
aparat penegak hukum untuk menempatkan tersangka/terdakwa sebagai subjek yang
mempunyai harkat dan martabat dalam setiap tingkat pemeriksaan. Di sini yang
menjadi objek pemeriksaan adalah kesalahan yang dilakukan oleh
tersangka/terdakwa. Dalam pemeriksaan, harus menjauhi cara-cara yang
menempatkan tersangka/terdakwa sebagai objek yang dapat diperlakukan
sewenang-wenang. Cara-cara ini sama sekali tidak memberi hak dan kesempatan
bagi tersangka/terdakwa untuk membela diri. Sebab sejak semula sudah menganggap
sebagai tersangka/terdakwa yang bersalah.
Dalam rangka menegakkan asas praduga
tidak bersalah ini, KUHAP telah memberikan seperangkat hak kepada
tersangka/terdakwa. Dengan hak-hak ini, maka
sejak pemeriksaan permulaan, kedudukan tersangka/terdakwa sama
derajatnya dengan pejabat pemeriksa. Hak-hak yang wajib dipenuhi dan dilindungi
para aparat penegak hukum tersebut, antara lain, adalah sebagai berikut :
1. Hak untuk
mengetahui dasar atau alasan penangkapan, penahanan dan atau
2. Hak memperoleh ganti kerugian maupun
rehabilitasi, apabila penangkapan,
penahanan atau pun penjatuhann pidana
terhadap dirinya tidak berdasarkan
hukum yang berlaku[17][17] .
3. Hak untuk
memperoleh perlakuan yang manusiawi dan hak-hak
yang sesuai denganperaturan
perundang-undangann yang berlaku selama masa penangkapan, penahanana maupun selama
menjalani pidana atas dirinya [18][18].
4. Penangkapan, penahanan dan
penjatuhan pidana, pada hakekatnya perampasan
kemerdekaan dan
kebebasan secara pisik. Oleh karena itu, maka
hak-hak asasi yang sifatnya non
fisik haruslah dipenuhi, dijunjung tinggi dan dihormati[19][19].
5. Hak untuk
menyampaikan pokok pikiran, pendapat baik secara langsung maupun
secara tertulis[20][20].
6. Hak untuk
diam, dalam arti tidak mengeluarkan pernyataan atau pengakuan dan tidak diperkenankan adanya
tekanan-kekanan[21][21].
Pelanggaran terhadap hak-hak tersebut,
tersangka/terdakwa atau orang yang merasa haknya dilanggar dapat
mengajukan kepada praperadilan untuk
menilai sah atau tidaknya pelanggaran
itu, sekaligus dapat menuntut ganti rugi
dan rehabilitasi.
Untuk menyelamatkan manusia dari perampasan
dan pembatasan hak-hak asasi
tersangka/terdakwa tanpa dasar dan demi tegaknya hukum dan keadilan, KUHAP
telah memberikan batasan-batasan terhadap kewenangan yang diberikan
undang-undang kepada para aparat penegak hukum. Pembatasan tersebut tercermin
dalam beberapa asas yang diuraikan
berikut ini.
PEMBATASAN DALAM PENANGKAPAN
KUHAP telah memberikan wewenang kepada pejabat penegak
hukum untuk membatasi kebebasan dan hak asasi manusia seseorang dalam bentuk
penangkapan. Tindakan ini harus benar-benar diletakkan pada proporsi
demi untuk kepentingan pemeriksaan.
Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara
waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna
kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan.
Sekalipun KUHAP memberikan kewenangan kepada
aparat penegak hukum untuk menangkap, tetapi dalam pelaksanaannya diberikan
batasan-batasan. Tindakan penangkapan baru bisa dilakukan apabila terdapat
bukti permulaan yang cukup. Pada saat penangkapan, petugas harus
membawa surat tugas dan surat perintah. Dengan menunjukkan surat tersebut orang yang akan ditangkap
dapat mengetahui nama orang yang akan ditangkap, pejabat yang menangkap dan pejabat
yang memerintahkan penangkapan, tindak
pidana yang dipersangkakan dan akan dibawa kemana. Sehingga dengan informasi ini orang yang akan
ditangkap dan keluarganya merasa tenteram, karena semuanya jelas dan tidak
menimbulkan kesan akan terjadi penculikan.
Demikian pula dengan waktu
penangkapan sudah dibatasi, tidak boleh lebih dari satu hari, dalam pengertian
24 hari. Lewat satu hari berarti sudah terjadi pelanggaran hukum dan
penangkapan dengan sendirinya dianggap tidak sah. Sebagai konsekwensi hukumnya
tersangka harus dilepas demi hukum. Bahkan
apabila batas waktu itu tetap dilanggar, tersangka atau penasehat
hukumnya dapat memintakan pemeriksaan praperadilan tentang sah atau tidaknya
penangkapan.
PEMBATASAN PENAHANAN
Setiap penahanan dengan sendirinya
menyangkut pembatasan dan pencabutan sementara sebagian hak-hak asasi manusia. Penahanan
merupakan perampasan kebebasan dan kemerdekaan serta nilai-nilai
perikemanusiaan dan harkat diri
peribadi. Oleh karena itu guna menyelamatkan nilai-nilai dasar hak asasi
manusia dan demi tegaknya hukum dan keadilan, KUHAP telah menetapkan secara
tegas dan terinci batas-batas kewewenang menahan yang boleh dilakukan oleh
setiap jajaran aparat penegak hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan.
Pada setiap tingkat pemeriksaan, KUHAP telah memberikan kewenangan kepada
jajaran aparat penegak hukum untuk menahan dengan batasan waktu tertentu.
Pejabat penyidik dalam rangka penyidikan diberikan kewenangan menahan seorang
tersangka selama 20 hari dan dapat diperpanjang 40 hari oleh penuntut umum;
penuntut umum, untuk kepentingan membuat surat dakwaan, memiliki kewenangan
menahan tersangka selama 20 hari dan dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan
Negeri selama 30 hari; hakim Pengadilan Negeri, guna kepentingan pemeriksaan di
pengadilan, juga memiliki kewenangan
menahan terdakwa selama 30 hari dan dapat diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Negeri selama 60 hari;
hakim Pengadilan Tinggi berwewenang menahan terdakwa selama 30 hari dan dapat
diperpanjang oleh Ketua Pengadilan Tinggi selama 60 hari; Demikian juga Hakim
Agung berwenang melakukan penahanan terdakwa selama 50 hari dan dapat
diperpanjang oleh Ketua Mahkamah Agung tidak lebih dari 60 hari.
Dari uraian batas-batas waktu penahanan
tersebut, diperoleh kepastian hukum bahwa seseorang tersangka/terdakwa yang
dikenakan perintah penahanan, mulai dari penyidik sampai ke Mahkamah Agung,
paling lama 400 hari. Setiap kali
melebihi batas waktu kewenangan penahanan,
tahanan harus dilepaskan demi hukum.
Memang tidak semua tindak pidana dapat
dilakukan penahanan atas tersangka/terdakwa. KUHAP sudah menentukan kejahatan
mana yang pelakunya dapat ditahan. Penahanan hanya dapat dikenakan terhadap
tersangka/terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara lima tahun atau lebih (alasan obyektif). Alasan lain yang dapat
dijadikan dasar penahanan adalah karena tersangka/terdakwa dikhawatirkan akan melarikan diri, merusak atau
menghilangkan barang bukti, atau akan mengulangi tindak pidana (alasan
subyektif).
Dengan adanya asas praduga tidak
bersalah ini, berarti memberikan penegasan bahwa hukum hanya memberikan
kewenangan kepada hakim untuk menghukum
seseorang yang sudah dinyatakan bersalah. Kalau ada orang atau pejabat lain di
luar hakim yang menghukum seseorang, hal itu sama artinya dengan mengambil alih
kewenangan hakim, alias melakukan perbuatan main hakim sendiri. Perjalanan asas
praduga tidak bersalah ini akan berakhir setelah ada putusan pengadilan yang
telah memiliki kekuatan hukum yang tetap. Setelah terdakwa
Hal lain yang menarik dari pembatasan
kewenangan tersebut, nampak adanya
pengelompokan fungsi dan wewenang antar setiap instansi penegak hukum.
Pengelompokan diatur sedemikian rupa, sehingga tetap terbina saling korelasi
dan koordinasi dalam proses penegakan hukum yang saling berkaitan dan
berkelanjutan antara satu instansi dengan instansi lain. Mulai dari taraf
penyidikan oleh pihak kepolisian sampai dengan pelaksanaan putusan pengadilan
oleh kejaksaan, selalu terjalin hubungan fungsi yang berkelanjutan, yang akan
menciptakan suatu mekanisme saling mengawasi antara satu instansi dengan
instansi penegak hukum lainnya yang saling terkait.
PERADILAN DENGAN SEDERHANA,CEPAT dan BIAYA RINGAN
Asas
ini menghendaki agar setiap pelaksanaan penegakan hukum di Indoensia berpedoman
kepada asas : cepat, tepat, sederhana dan dengan biaya ringan. Tidak boleh
berbelit-belit, apalagi ada unsur kesengajaan memperlambat penyelesaian kasus
pidana, tentu kesengajaan ini merupakan perkosaan terhadap hukum dan martabat
kemanusia. Jajaran penegak hukum harus
membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan
rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya
ringan[22][22].
Dapat
dibayangkan betapa sengsaranya seorang tersangka/terdakwa yang menghadapi ketidakpastian sangkaan atau dakwaan yang
dituduhkan kepadanya. Untuk itu, KUHAP telah meletakkan asas yang mengarahkan peradilan harus dilakukan
dengan cepat, tepat dan sederhana. Tegaknya asas ini ke dalam kenyataan, kembali kepada
kesadaran moral aparat penegak hukum. Idealisme penegakan hukum oleh aparat
penegak hukum itulah yang paling menentukan. Karena dengan dukungan idealisme
yang kuat para aparat penegak hukum akan memahami kedudukan mereka bukan hanya
sebagai alat kekuasaan, tapi juga
sebagai pelayan manusia. Kesadaran inilah yang dapat memotivasi mereka memberi
dan melaksanakan hukum secara sepat, tepat dan sederhana.
Beberapa
ketentuan yang menjamin pelaksanaan asas
tersebut, antara lain, menyatakan bahwa tersangka/terdakwa berhak segera mendapat pemeriksaan penyidik,
diajukan ke penuntut umum oleh penyidik, diajukan ke pengadilan negeri oleh
penuntut umum dan segera diadili oleh pengadilan[23][23]. Mengenai pelimpahan perkara agar
terlaksana dengan tepat, diatur dalam tenggang waktu pengirimaman berkas
perkara, misalnya dari Pengadilan Negeri
ke Pengadilan Tinggi sebagai tingkat banding ditentukan waktunya 14 hari dari
tanggal permohonan banding[24][24]. Kemudian 7
hari sesudah diputus di tingkat banding, Pengadilan Tinggi harus mengembalikan
ke Pengadilan Negeri[25][25]. Demikian
pula halnya pada tingkat Kasasi, 14 hari
dari tanggal permohonan kasasi, Pengadilan Negeri harus sudah mengirimkan
berkas perkara ke Mahkamah Agung (MA) untuk diperiksa di tingkat kasasi dan 7
hari setelah diputus, MA sudah harus dikirim ke Pengadilan Negeri[26][26].
Sedangkan
mengenai asas sederhana dan biaya ringan di dalam KUHAP dijabarkan sebagaimana
diatur : penggabungan perkara pidana dengan tuntutan ganti rugi yang bersifat
perdata oleh seorang korban yang mengalami kerugian akibat langsung tindak
pidana yang dilakukan oleh terdakwa[27][27]; banding tidak dapat diminta
terhadap putusan dalam acara cepat. Tidak kurang artinya sebagai pelasanaan
dari perinsip mempercepat dan menyederhanakan proses penahanan.
PENCAPAIAN
KEADILAN
Di dalam upaya
memeroleh keadilan yang asasi melalui pelaksanaan peradilan pidana, ada suatu
istilah hukum yang dapat merupakan cita-cita peradilan pidana, yaitu doe process of law atau proses hukum
yang adil. Benar dan adilnya
penyelesaian perkara di depan sidang pengadilan bukan dilihat pada hasil akhir
putusan yang dijatuhkan, tetapi harus dimulai sejak awal proses pemeriksaan
dimulai. Apakah sejak tahap awal ditangani pengadilan memberi pelayanan sesuai
dengan ketentuan hukum acara. Dengan kata lain, apakah proses pemeriksaan
perkara sejak awal sampai akhir benar-benar proses hukum yang adil. Apakah
sejak awal sampai putusan dijatuhkan proses pemeriksaan dilakukan sesuai dengan
ketentuan hukum acara pidana. Apabila sejak awal sampai putusan dijatuhkan sesuai
dengan hukum acara pidana, berarti pengadilan telah melaksanakan dan menegakkan
kebenaran dan keadilan.
Putusan pengadilan merupakan bagian
dari proses penegakan hukum yang bertujuan untuk memperoleh kebenaran dan
keadilan. Putusan pengadilan merupakan produk penegak hukum yang didasarkan
pada hal-hal yang relevan secara yuridis yang muncul secara sah di persidangan.
Kualitas putusan pengadilan berhubungan dengan profesionalisme, kecerdasan
moral dan kepekaan nurani hakim. Pertimbangan hukum yang dipakai hakim sebagai
landasan dalam mengeluarkan amar putusan merupakan determinan dalam melihat
kualitas putusan.
Selaku
pelaksana kekuasaan yudikatif, para hakim tidak boleh takut kepada suatu
golongan atau kekuasaan pemerintahan, mereka hanya boleh takut kepada
kemurkaan Tuhan. Dengan demikian
pelaksanaan fungsi kekuasaan kehakiman yang berfalsafah Ketuhanan Yang Maha
Esa, bukan semata-mata untuk kepentingan hukum,
keadilan dan peradilan serta ketertiban masyarakat semata. Tetapi lebih jauh
dari itu, yaitu penegakan hukum yang mampu mewujudkan tegaknya hukum, keadilan dan kebenaran serta
ketertiban masyarakat lahir dan batin bagi seluruh anggota masyarakat.
Untuk mencapai keadilan yang demikian,
asas praduga tidak bersalah dan asas-asas
pokok lain yang mendukungnya dalam
tahapan persidangan harus ditegakkan. Beberapa asas yang mendukung penegakan
asas praduga tidak bersalah dalam proses
pemeriksaan di sidang pengadilan, adalah sebagaimana diuraikan berikut.
KEKUASAAN KEHAKIMAN YANG MERDEKA
Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan
bebas dari pengaruh dan campur tangan kekuasaan di luar kekuasaan kehakiman.
Kekuasaan kehakiman yang demikian sudah dijaminan[28][28]. Kemudian jaminan ini diperkuat
lagi dalam undang-undang yang menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum
Republik Indoensia[29][29]. Dengan
penegasan ini semakin jelas kedudukan kekuasaan kehakiman, yaitu, kekuasaan peradilan yang bebas dan merdeka.
Dengan
kebebasan dan kemerdekaan, akan dapat dicapai peradilan yang objektif, jujur
dan tidak memihak. Peradilan yang
mengejar kebenaran materil, mampu menghargai harkat dan martabat manusia
serta melindungi hak-hak asasi tersangka/terdakwa. Namun dalam memahami
kebebasan dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman ini, para hakim harus menyadari
dan menghayati bahwa kekuasaan yang bebas
dan merdeka itu adalah kekuasaan negara.
Selain
itu, peradilan adalah satu-satunya instansi tertinggi dan terakhir yang
berwenang memutuskan sesuatu tindakan benar atau salah, berdasar hukum atau
tidak, dan menentukan hukum apa yang berlaku terhadap suatu peristiwa. Dari
rumusan ini, hukum melarang setiap orang atau golongan untuk memberi pendapat
atau tafsiran yang mendahului putusan peradilan mengenai sesuatu kasus yang
sedang diperiksa. Hal ini bukan berarti masyarakat dan pers dilarang
melakukan sosial kontrol. Perjalanan asas praduga tidak bersalah belum
berakhir. Masyarakat dan pers boleh saja melakukan kontrol, asal jangan
mendahului putusan peradilan. Masayakat baru boleh mengatakan seseorang penipu,
koruptor, pencuri, dan sebagainya setelah ada putusan hakim, karena undang-undang
hanya memberikan kewenangan kepada hakim untuk menyatakan seseorang telah
melakukan tindak pidana.
ASAS PERDILAN TERBUKA UNTUK UMUM
Peradilan
terbuka untuk umum penting artinya dalam pelaksanaan penegakan hukum. Oleh
karena itu pasal-pasal KUHAP yang mendukung asas ini mengarahkan tindakan
penegakan hukum di Indonesia harus dijiwai oleh
jiwa persamaan dan keterbukaan serta penerapan sistem musyawarah dan
mufakat dari majelis hakim dalam mengambil putusan. Dengan landasan persamaan
hak dan kedudukan antara tersangka/terdakwa dengan aparat penegak hukum,
ditambah dengan sifat keterbukaan perlakuan oleh aparat hukum kepada tersangka/terdakwa,
tidak ada dan tidak boleh dirahasiakan segala sesuatu pemeriksaan terhadap diri
tersangka/terdakwa. Semua hasil pemeriksaan kesalahan yang disangkakan kepada
sejak mulai pemeriksaan penyidikan harus terbuka kepada tersangka.
Untuk mempertegas tentang adanya asas ini
dalam penegakan hukum, maka pemeriksaan di pengadilan harus terbuka untuk umum.[30][30] Pada saat
membuka persidangan pemeriksaan seorang terdakwa, hakim ketua majelis yang memimpin sidang harus menyatakan :
”sidang dibuka dan terbuka untuk umum”. Pelanggaran atas ketentuan ini
mengakibatkan putusan pengadilan batal demi hukum. Tentu ada pengecualian
sepanjang mengenai perkara yang menyangkut kesusilaan atau anak-anak. Dalam hal ini
persidangan dilakukan dengan pintu tertutup. Alasannya, karena perkara
kesusilaan dianggap masalah yang sangat peribadi dan tidak pantas diungkapkan
di muka umum. Demikian juga terhadap anak-anak yang melakukan tindak pidana
secara filosofis sifatnya kenakalan. Oleh karena itulah pemeriksaan dilakukan
secara tertutup. Jika persidangan dilakukan terbuka dikhawatirkan akan membawa
akibat psikologis yang tidak menguntungkan bagi si anak.
Selain itu, KUHAP juga memperlihatkan adanya landasan
asas demokrasi dalam penegakan hukum. Hal ini terlihat dari ketentuan yang
mengatur bahwa hakim dilarang menunjukkan sikap dan atau mengeluarkan
pernyataan tentang keyakinannya mengenai salah tidaknya terdakwa dalam
pemeriksaan persidangan. Selama sidang belum ditutup, hakim dilarang
melontarkan ucapan atau sikap pernyataan salah terhadap terdakwa. Salah
tidaknya terdakwa baru dapat dinyatakan setelah hakim menutup pemeriksaan. Dan
saat yang diperbolehkan untuk menyatakan salah tidaknya terdakwa hanya dapat
dilakukan hakim pada saat mengucapkan
putusan perkara; hakim wajib menjaga supaya jangan sampai melakukan
pertanyaan-pertanyaan yang bisa mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan
jawaban secara tidak bebas; tidak seorang hakim pun diperkenankan mengadili
perkara yang ia sendiri mempunyai kepentingan di dalamnya, baik langsung maupun
tidak langsung; putusan diambil oleh majelis hakim berdasarkan musyawarah dan
mufakat; apabila kata sepakat tidak tercapai putusan diambil berdasarkan suara
terbanyak; jika suara terbanyak juga tidak diperoleh, putusan harus diambil
berdasarkan pendapat paling menguntungkan terdakwa;
Demikianlah beberapa ketentuan KUHAP
yang menunjukkan bahwa KUHAP bukan hanya berperinsip terbuka untuk umum saja,
tetapi sikap dan jiwa demokrasi harus
hadir pada setiap tingkat pemeriksaan, dengan jalan menghayati
sifat-sifat keterbukaan.
PERADILAN ATAS HADIRNYA TERDAKWA
Asas ini melarang pemeriksaan dan pemutusan
perkara secara di luar hadirnya terdakwa. Oleh karena itu pengadilan memeriksa
dan memutus perkara pidana, terdakwa dan saksi
harus hadir di muka persidangan. Di sini hakim dan terdakwa ataupun para
saksi berada dalam satu sidang yang tidak dibatasi sekat apapun. Ketentuan ini
dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada terdakwa untuk membela diri
sebelum hakim menjatuhkan putusan. Hakim menjatuhkan hukuman terhadap seseorang
yang melakukan tindak pidana, setelah terlebih dahulu diberikan kesempatan untuk membela diri.
Dengan demikian, kehadiran terdakwa dan saksi dalam suatu persidangan
pengadilan mutlak sifatnya, tanpa hadirnya terdakwa peangdilan tidak mungkin
dilakukan.
Dengan asas ini diharapkan informasi atau
keterangan langsung diberikan terdakwa, tanpa melalui perantara. Sehingga dapat
dijamin kebenarannya sekaligus memberikan jaminan perlindungan hak-hak asasi
terdakwa. Lagi pula seandainya pemeriksaan tanpa hadirnya terdakwa, akan timbul
kecendrungan untuk memilih jalan pintas memutus perkara tanpa hadirnya terdakwa
Akibatnya akan bamuara ke arah putusan pengadilan yang kurang dapat dipertanggung
jawabkan ditinjau dari segi kebenaran dan keadilan.
PERADILAN
MAJELIS
Semua peradilan
memeriksa dan memutus dengan sekurang-kurangnya tiga orang hakim. Peradilan
dilakukan dengan majelis hakim yang terdiri dari sekurang-kurangnya tiga orang
hakim. Maksud persidangan majelis ini untuk dapat mewujudkan keputusan
peradilan yang objektif. Inilah ide yang sebenarnya bahwa dengan pemeriksaan
yang dilakukan oleh majelis akan diharapkan pemeriksaan dapat dilakukan dengan
lebih teliti, dan akan lebih menjamin terhindar dari kecerobohan, kealpaan dan
kehilapan.
ASAS KEBENARAN MATERIL
Dalam
pemeriksaan perkara pidana lebih mementingkan penemuan kebenaran materil.
Artinya suatu kebenaran yang benar-benar sesuai
kenyataan yang sesungguhnya. Asas ini nampak dalam proses peradilan, di
mana pengakuan terdakwa tidak dapat dijadikan alasan untuk menjatuhkan putusan,
tapi pengakuan itu perlu didukung oleh
alat bukti. Pengakuan dalam proses perkara pidana bukan sebagai suatu kebenaran, melainkan
hanya sebagai petunjuk yang masih perlu dibuktikan dengan alat bukti saksi atau
barang bukti lainnya.
Selain
asas-asas yang diuraikan di atas, kekuasaan peradilan di dalam melaksanakan
fungsi dan wewenangnya harus dijalankan : ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa”.[31][31] Bertitik
tolak dari landasan filosofis ini, cita-cita dan tujuan pelaksanaan peradilan
di Indonesia adalah untuk mengwujudkan keadilan yang berdasarkan Ketuhana yang
Maha Esa. Yaitu wujud keadilan dan kebenaran yang diridhoi Tuhan, bukan
keadilan dan kebenaran yang dimurkai Tuhan. Oleh karena itu setiap putusan yang
diambil oleh hakim harus mempertanggungjawabkan langsung kepada Tuhan Yang Maha
Esa, bukan kepada atasannya atau masyarakat. Dengan demikian fungsi pelaksanaan
kekuasaan kehakiman di Indonesia, bukan untuk dan atas nama kepentingan
penguasa maupun kepentingan tegaknya hukum saja.
Demikianlah
penerapan asas praduga tidak bersalah beberapa asas lainnya yang mendukung
dalam proses peradilan pidana. Tentu masih ada asas yang lain. Semua asas
tersebut sama pentingnya. Namun tidak berlebihan untuk mengatakan prinsip
kekuasaan peradilan yang paling pokok ialah asas kekuasaan peradilan yang bebas dan merdeka. Sehingga kekuasaan peradilan itu
benar-benar sebagai kekuasaan kehakiman yang independen tanpa pengaruh dan
campur tangan dari luar peradilan. Demikian pun kebebasan bukanlah tanpa tujuan
dan tanpa batas. Setiap kebebasan yang tidak mempunyai tujuan dan tanpa batas
bukan lagi kebebasan, tetapi berobah menjadi kejaliman dan kesewenang-wenangan.
Kebebasan kehakiman yang mengandung pengertian di dalamnya kekuasaan kehakiman
yang bebas dari campur tangan kekuasaan negara lainnya, dan kebebasan dari
paksaan.
KESIMPULAN
Dari uraian tersbut di atas, dapat disimpulkan bahwa hak memperoleh keadilan, sebagai salah satu
elemen hak asasi manusia, telah diakui dalam negara hukum Indonesia. UUD 1945
dan beberapa peraturan perundang-undangan telah memberikan jaminan
pemenuhannya. Bahkan KUHAP dengan Asas
praduga tidak bersalah dan asas-asas pendung lainnya telah memberikan arahan
yang jelas dalam rangka pencapaian keadilan melalui proses peradilan pidana
yang adil.
Keadilan
yang hendak ditegakkan di negara hukum Republik Indonesia adalah keadilan yang
mengandung nilai-nilai falsafah Pancasila, UUD 1945 serta nilai-nilai yang
terdapat dalam perundang-undangan yang lain, yang nilai-nilainya aspiratif
dengan nilai dan rasa keadilan masyarakat. Sedangkan cara menegakkan hukum dan
keadilan dilakukan sesuai dengan tata pelaksanaan yang berpedoman kepada asas
praduga tidak bersalah dan asas-asas lain yang ditentukan KUHAP. Dengan
demikian titik senteral penegakan hukum
di Indonesia adalah melalui proses peradilan pidana harus berorientasi
pada asas keseimbangan. Pada satu sisi
aparat hukum wajib melindungi harkat dan martabat hak asasi manusia seorang tersangka/terdakwa,
sedangkan pada sisi lain mereka berkewajiban melindungi dan mempertahankan
kepentingan ketertiban umum. Bergeser dari landasan keseimbangan ini pasti akan
menjurus ke arah orientasi kekuasaan dan bersifat sewenang-wenang. Akibatnya akan
menghasilkan keadilan yang diperoleh melalui pemerasan dan penyiksaan.
Pelaksanaan
peradilan secara sadar selalu menuntut dipenuhinya prosedur-prosedur yang
ditentukan dalam hukum acara. Tidak terpenuhinya prosedur baku yang diatur
dalam hukum acara, dapat mengakibatkan proses peradilan itu menjadi batal dan
tidak sah. Jajaran aparat penegak hukum yang terlibat aktif dalam
prosedur-prosedur berperkara dalam peradilan mempunyai mandat hukum untuk
melaksanakan tindakan hukum. Setiap
mandat hukum yang diberikan kepada para penegak hukum tersebut harus
dilaksanakan secara profesional. Oleh karena itu setiap aparat penegak hukum
perlu memiliki pengetahuan hukum yang mendalam, keterampilan teknik penerapan
hukum yang cukup dan integritas moral
yang tinggi
Kemudian
eksistensi seorang penegak hukum tidak cukup hanya didukung oleh undang-undang
yang mengharuskannya berlaku adil. Tapi yang terpenting, adalah sikapnya yang
positif dan tangguh saat ia mengemban kekuasaan atau bertugas langsung sebagai
penegak hukum. Oleh karena itu, jajaran aparat penegak hukum perlu menjaga
tingkah laku dan integritasnya serta
memelihara kejujurannya. Sebab apabila penegak hukum sendiri tidak mampu
melaksanakan tugasnya, terlebih kalau banyak diantara mereka yang justru
melakukan pelanggaran hukum, hampalah cita-cita yang diuraikan dalam tulisan
ini.
Hal lain yang
perlu dilaksanakan secara terus menerus adalah kegiatan sosialisasi dan
diseminasi materi hak asasi manusia kepada kelompok masyarakat luas, baik yang
rentan terhadap pelanggaran maupun
kelompok yang berpotensi melanggar hak asasi manusia.
Post a Comment